Rabu, 27 Mei 2009

Membaca lagi


Ayo membaca, membaca dan teruskan membaca..
Berapa judul buku yang anda tamatkan pekan ini?
Berapa judul novel yang anda bereskan hari ini?
Atau berapa lembar yang sudah anda baca pada hari ini?
Informasi apa yang anda dapatkan dari buku yang anda baca tadi pagi?
Apakah anda membaca koran tadi pagi?
Apa.....
Apa...dan banyak lagi yang mungkin akan muncul sebagai sebuah pertanyaan kepada diri kita masing-masing terkait membaca. Tapi pertanyaannya adalah apakah hari-hari kita memang disibukan untuk kegiatan 'menuntut ilmu' ini? apakah tiap detik kita dapat kita manfaatkan untuk membaca, mencari ilmu, menggali informasi, menemukan inspirasi yang nantinya akan mencerahkan pikiran kita. Apakah anda sudah seperti itu? ataukah hari-hari kita masih disibukan untuk menonton film-film, sinetron-sinetron 'sejenis' dengan tema cinta-hantu-komedi, apakah kita disibukan dengan nongkrong-nongkrong di lingkungan sekitar kita dengan fren-fren kita. Yang mana yang ternyata menjadi kebiasaan anda saat ini?
Memang tidak setiap orang yang memiliki kebiasaan membaca di setiap harinya, bahkan untuk orang-orang yang suka membaca, dia belum terbiasa untuk membaca yang seharusnya dia baca. Berarti yang saat ini terjadi adalah kenyataan yang suka membaca adalah segelintir dari masyarakat indonesia, dan dari segelintir masyarakat itu di saring lagi sehingga didapatlah segelintirnya segelintir yang membaca yang seharusnya harus dibaca.
hehe...
Sekarang pertanyaannya adalah apakah anda sudah tergolong orang yang suka membaca atau tidak? mungkin ada orang yang berpikir 'untuk apa saya harus mensibukkan diri untuk membaca?' dan jika saya harus menjawab.... MEMBACALAH! karena dengan itu wawasan kita semakin luas, pengetahuan kita semakin dalam, pikiran kita semakin terbuka, pemikiran kita semakin tajam, membacalah karena itu adalah salah satu dari ikhtiar kita dalam memajukan bangsa ini, bukankah kita ingin bangsa ini maju? jika kita ingin bangsa ini sejajar dengan bangsa yang lain, maka kita harus memulainya dari diri kita....

BACA, insyaAllah anda tidak akan rugi,
mungkin di lain kesempatan akan saya lampirkan buku-buku apa yang seharusnya kita baca...
nuhun

Selasa, 19 Mei 2009

BANTU KAMI para lelaki !!!


Fenomena yang mudah dilihat saat ini adalah para wanita yang mengenakan pakaian-pakaian ala barat, entahlah itu lengkap ataupun tidak lengkap. Akan tetapi fenomena inilah yang memanjakan para 'lelaki' untuk mengumbar segala pandangannya ke segala penjuru menikmati pemandangan yang ada. Mohon maaf jika bahasa ini terlalu kasar, akan tetapi saya sadari sebagai salah satu korban ini sangat berkaitan erat dengan perilaku wanita itu sendiri. Alangkah tenang, damai dan pikiran ini bebas dari yang aneh-aneh jika kita dikelilingi oleh wanita-wanita yang mengenakan pakaian yang sopan, tertutup tidak mengobral apa yang seharusnya tidak diperlihatkan. Akan tetapi ketika kita diketemukan dengan wanita berpakaian rada kurang, maka pikiran aneh itu akan datang juga...

MOHON MAAF sebesar-besarnya atas tulisan ini, akan tetapi akankah hal ini akan terus berjalan hingga setiap wanita tidak malu dengan pakaian yang mereka kenakan? hingga para lelaki semakin di ulang tahunkan dengan pemandangan itu? mohon pengertiannya karena atas perilaku itu, hal inilah yang merangsang para lelaki untuk berbuat tidak senonoh kepada anda para wanita...hal inilah yang membuat para lelaki menggoda kalian, hal inilah yang membuat para lelaki mempermainkan kalian... bayangan saya jika semakin sedikit wanita yang menggunakan pakaian yang kurang itu maka niscaya akan semakin sedikit pula laki-laki yang ngeresss...

Ini blak-blakan saja, lawan jenis itu memang diciptakan untuk menjadikan 'menyenangkan' satu sama lain. akan tetapi jika kita memberikan kepada orang yang tidak berhak, dan belum saatnya lagi!! apa kata dunia nantinya....

Sekali lagi maaf jika ini terlalu kasar, akan tetapi demi keselamatan para wanita itu sendiri, demi menjaga kehormatan para wanita itu sendiri, demi menjaga dan mengekang nafsu para pria, saya mohon bantulah bangsa dan dunia ini dengan membaguskan pakaian anda....

Jazzakillah khair, kepada para wanita, akhwat yang telah menjaga dirinya, hijabnya, perangainya semoga Allah memberikan pahala yang setimpal dengan amal antum semua...karena anda sudah berbuat sesuatu hal yang besar untuk keselamatan bangsa, negara, umat ini....

Keshalihan suatu negara tergantung atas keshalihahan para wanitanya....

wallahu 'alam

Kamis, 30 April 2009

Menolerir Sebuah Kesalahan

Adalah sebuah kesalahan yang cukup besar jika kita merasa bahwa ketika kita aktif dalam sebuah organisasi dakwah, gerakan, kita berpikir bahwa setiap rekan kita adalah kumpulan malaikat, dalam artian mereka tidak akan pernah berbuat salah sedikit dan sekecil sekalipun.

Adalah sebuah manusiawi jika suatu saat ada rekan kita yang melakukan kesalahan, bahkan ketika kesalahannya itu besar sekalipun. Misalnya seperti ini, andaikan ada rekan kita yang bertindak sebagai ketua pelaksana dalam suatu kegiatan akan tetapi ternyata ketuplak itu melaksanakan sebuah kesalahan yang fatal yang dampaknya bisa berakibat buruk sekali terhadap organisasi yang dia ikuti. Maka kira-kira 'memecatnya' adalah tindakan yang bijaksana? mungkin ini tidak terjadi dalam segala kasus, dan boleh jadi setiap kasus memiliki tingkat kerumitan yang berbeda antara yang satu dengan yang lain. Akan tetapi sekali lagi sebuah pemecatan, bisa menjadi sebuah keputusan yang kurang tepat.

Yang harus kita lakukan terutama adalah memberikan sanksi, hukuman, nasihat dan segala hal yang memang cukup untuk memberikan efek jera baik itu untuk tersangka dan rekan-rekan yang lain agar kesalahan serupa seperti itu tidak terulang kembali di sekian kalinya.

Setelah proses hukuman itu telah berlangsung dan ternyata tersangka mau melaksanakannya dengan lapang dada dan sadar akan yang telah dilaksanakan, maka kemudian sikap kita selanjutnya adalah memperlakukannya tersangka sebagaimana sebelumnya-dengan catatan dia telah mengikuti proses hukuman yang 'setimpal' dengan kesalahan yang telah dilakukan.

Lain halnya jika tersangka tidak mau mengikuti proses hukuman yang diajukan, maka pertimbangan-pertimbangan yang lebih berat bisa diambil bahkan 'pemecatan' sebagai puncak dapat dilakukan.

Hanya saja yang harus diperhatikan disini adalah ketika tersangka mau mengikuti proses hukuman dan menjalankannya dengan baik, serta mengakui kesalahannya maka jangan sampai kita menganiaya, mencela tersangka secara berlebihan. Jangan sampai kita berbuat berlebihan dan tidak berlaku adil kepada tersangka.

Persatuan dan kesolidan anggota, pengurus, pemimpin merupakan modal yang kuat agar roda pergerakan terus bergerak. Jika kita bisa memudahkan urusan dengan tidak mengurangi aturan-aturan yang ada, maka insyaAllah jika itu lebih baik maka itu bisa kita ambil sebagai keputusan kita.

Tulisan ini menjadi pengingat juga kepada pribadi ini, semoga kita bisa mempertimbangkan segala yang akan kita lakukan, jangan sampai keputusan yang kita keluarkan kita sesalkan dikemudian hari.

afwan atas kesalahan yang ada, yang benar dari Allah yang salah dari saya pribadi.
butuh diskusi?ditunggu partisipasinya...

Sabtu, 11 April 2009

untuk menyemangati diriku dan yang lainnya....bismillah


Menikah, Kenapa Takut?

Oleh: DR. Amir Faishol Fath
Kirim

Kita hidup di zaman yang mengajarkan pergaulan bebas, menonjolkan aurat, dan mempertontonkan perzinaan. Bila mereka berani kepada Allah dengan melakukan tindakan yang tidak hanya merusak diri, melainkan juga menghancurkan institusi rumah tangga, mengapa kita takut untuk mentaati Allah dengan membangun rumah tangga yang kokoh? Bila kita beralasan ada resiko yang harus dipikul setelah menikah, bukankah perzinaan juga punya segudang resiko? Bahkan resikonya lebih besar. Bukankankah melajang ada juga resikonya?

Hidup, bagaimanapun adalah sebuah resiko. Mati pun resiko. Yang tidak ada resikonya adalah bahwa kita tidak dilahirkan ke dunia. Tetapi kalau kita berpikir bagaimana lari dari resiko, itu pemecahan yang mustahil. Allah tidak pernah mengajarkan kita agar mencari pemecahan yang mustahil. Bila ternyata segala sesuatu ada resikonya, maksiat maupun taat, mengapa kita tidak segera melangkah kepada sikap yang resikonya lebih baik? Sudah barang tentu bahwa resiko pernikahan lebih baik daripada resiko pergaulan bebas (baca: zina). Karenanya Allah mengajarkan pernikahan dan menolak perzinaan.

Saya sering ngobrol, dengan kawaan-kawan yang masih melajang, padahal ia mampu untuk menikah. Setelah saya kejar alasannya, ternyata semua alasan itu tidak berpijak pada fondasi yang kuat: ada yang beralasan untuk mengumpulkan bekal terlebih dahulu, ada yang beralasan untuk mencari ilmu dulu, dan lain sebagainya. Berikut ini kita akan mengulas mengenai mengapa kita harus segera menikah? Sekaligus di celah pembahasan saya akan menjawab atas beberapa alasan yang pernah mereka kemukakan untuk membenarkan sikap.

Menikah itu Fitrah

Allah Taala menegakkan sunnah-Nya di alam ini atas dasar berpasang-pasangan. Wa min kulli syai’in khalaqnaa zaujain, dan segala sesuatu kami ciptakan berpasang-pasangan (Adz-Dzariyaat: 49). Ada siang ada malam, ada laki ada perempuan. Masing-masing memerankan fungsinya sesuai dengan tujuan utama yang telah Allah rencanakan. Tidak ada dari sunnah tersebut yang Allah ubah, kapanpun dan di manapun berada. Walan tajida lisunnatillah tabdilla, dan kamu sekali-kali tidak akan mendapati perubahan pada sunnah Allah (Al-Ahzab: 62). Walan tajida lisunnatillah tahwiila, dan kamu tidak akan mendapati perubahan bagi ketetapan kami itu. (Al-Isra: 77)

Dengan melanggar sunnah itu berarti kita telah meletakkan diri pada posisi bahaya. Karena tidak mungkin Allah meletakkan sebuah sunnah tanpa ada kesatuan dan keterkaitan dengan sIstem lainnya yang bekerja secara sempurna secara universal.

Manusia dengan kecanggihan ilmu dan peradabannya yang dicapai, tidak akan pernah mampu menggantikan sunnah ini dengan cara lain yang dikarang otaknya sendiri. Mengapa? Sebab, Allah swt. telah membekali masing-masing manusia dengan fitrah yang sejalan dengan sunnah tersebut. Melanggar sunnah artinya menentang fitrahnya sendiri.

Bila sikap menentang fitrah ini terus-menerus dilakukan, maka yang akan menanggung resikonya adalah manusia itu sendiri. Secara kasat mata, di antara yang paling tampak dari rahasia sunnah berpasang-pasangan ini adalah untuk menjaga keberlangsungan hidup manusia dari masa ke masa sampai titik waktu yang telah Allah tentukan. Bila institusi pernikahan dihilangkan, bisa dipastikan bahwa mansuia telah musnah sejak ratusan abad yang silam.

Mungkin ada yang nyeletuk, tapi kalau hanya untuk mempertahankan keturunan tidak mesti dengan cara menikah. Dengan pergaulan bebas pun bisa. Anda bisa berkata demikian. Tetapi ada sisi lain dari fitrah yang juga Allah berikan kepada masing-masing manusia, yaitu: cinta dan kasih sayang, mawaddah wa rahmah. Kedua sisi fitrah ini tidak akan pernah mungkin tercapai dengan hanya semata pergaulan bebas. Melainkan harus diikat dengan tali yang Allah ajarkan, yaitu pernikahan. Karena itulah Allah memerintahkan agar kita menikah. Sebab itulah yang paling tepat menurut Allah dalam memenuhi tuntutan fitrah tersebut. Tentu tidak ada bimbingan yang lebih sempurna dan membahagiakan lebih dari daripada bimbingan Allah.

Allah berfirman fankihuu, dengan kata perintah. Ini menunjukan pentingnya hakikat pernikahan bagi manusia. Jika membahayakan, tidak mungkin Allah perintahkan. Malah yang Allah larang adalah perzinaan. Walaa taqrabuzzina, dan janganlah kamu mendekati zina (Al-Israa: 32). Ini menegaskan bahwa setiap yang mendekatkan kepada perzinaan adalah haram, apalagi melakukannya. Mengapa? Sebab Allah menginginkan agar manusia hidup bahagia, aman, dan sentosa sesuai dengan fitrahnya.

Mendekati zina dengan cara apapun, adalah proses penggerogotan terhadap fitrah. Dan sudah terbukti bahwa pergaulan bebas telah melahirkan banyak bencana. Tidak saja pada hancurnya harga diri sebagai manusia, melainkan juga hancurnya kemanusiaan itu sendiri. Tidak jarang kasus seorang ibu yang membuang janinnya ke selokan, ke tong sampah, bahkan dengan sengaja membunuhnya, hanya karena merasa malu menggendong anaknya dari hasil zina.

Perhatikan bagaimanan akibat yang harus diterima ketika institusi pernikahan sebagai fitrah diabaikan. Bisa dibayangkan apa akibat yang akan terjadi jika semua manusia melakukan cara yang sama. Ustadz Fuad Shaleh dalam bukunya liman yuridduz zawaj mengatakan, “Orang yang hidup melajang biasanya sering tidak normal: baik cara berpikir, impian, dan sikapnya. Ia mudah terpedaya oleh syetan, lebih dari mereka yang telah menikah.”

Menikah Itu Ibadah

Dalam surat Ar-Rum: 21, Allah menyebutkan pentingnya mempertahankan hakikat pernikahan dengan sederet bukti-bukti kekuasaan-Nya di alam semesta. Ini menunjukkan bahwa dengan menikah kita telah menegakkan satu sisi dari bukti kekusaan Allah swt. Dalam sebuah kesempatan Rasulullah saw. lebih menguatkan makna pernikahan sebagai ibadah, “Bila seorang menikah berarti ia telah melengkapi separuh dari agamanya, maka hendaknya ia bertakwa kepada Allah pada paruh yang tersisa.” (HR. Baihaqi, hadits Hasan)

Belum lagi dari sisi ibadah sosial. Dimana sebelum menikah kita lebih sibuk dengan dirinya, tapi setelah menikah kita bisa saling melengkapi, mendidik istri dan anak. Semua itu merupakan lapangan pahala yang tak terhingga. Bahkan dengan menikah, seseorang akan lebih terjaga moralnya dari hal-hal yang mendekati perzinaan. Alquran menyebut orang yang telah menikah dengan istilah muhshan atau muhshanah (orang yang terbentengi). Istilah ini sangat kuat dan menggambarkan bahwa kepribadian orang yang telah menikah lebih terjaga dari dosa daripada mereka yang belum menikah.

Bila ternyata pernikahan menunjukkan bukti kekuasan Allah, membantu tercapainya sifat takwa. dan menjaga diri dari tindakan amoral, maka tidak bisa dipungkiri bahwa pernikahan merupakan salah satu ibadah yang tidak kalah pahalanya dengan ibadah-ibadah lainnya. Jika ternyata Anda setiap hari bisa menegakkan ibadah shalat, dengan tenang tanpa merasa terbebani, mengapa Anda merasa berat dan selalu menunda untuk menegakkan ibadah pernikahan, wong ini ibadah dan itupun juga ibadah.

Pernikahan dan Penghasilan

Seringkali saya mendapatkan seorang jejaka yang sudah tiba waktu menikah, jika ditanya mengapa tidak menikah, ia menjawab belum mempunyai penghasilan yang cukup. Padahal waktu itu ia sudah bekerja. Bahkan ia mampu membeli motor dan HP. Tidak sedikit dari mereka yang mempunyai mobil. Setiap hari ia harus memengeluarkan biaya yang cukup besar dari penggunakan HP, motor, dan mobil tersebut. Bila setiap orang berpikir demikian apa yang akan terjadi pada kehidupan manusia?

Saya belum pernah menemukan sebuah riwayat yang menyebutkan bahwa Rasulullah saw. melarang seorang sahabatnya yang ingin menikah karena tidak punya penghasilan. Bahkan dalam beberapa riwayat yang pernah saya baca, Rasulullah saw. bila didatangi seorang sahabatnya yang ingin menikah, ia tidak menanyakan berapa penghasilan yang diperoleh perbulan, melainkan apa yang ia punya untuk dijadikan mahar. Mungkin ia mempunyai cincin besi? Jika tidak, mungkin ada pakaiannya yang lebih? Jika tidak, malah ada yang hanya diajarkan agar membayar maharnya dengan menghafal sebagian surat Alquran.

Apa yang tergambar dari kenyatan tersebut adalah bahwa Rasulullah saw. tidak ingin menjadikan pernikahan sebagai masalah, melainkan sebagai pemecah persoalan. Bahwa pernikahan bukan sebuah beban, melainkan tuntutan fitrah yang harus dipenuhi. Seperti kebutuhan Anda terhadap makan, manusia juga butuh untuk menikah. Memang ada sebagian ulama yang tidak menikah sampai akhir hayatnya seperti yang terkumpul dalam buku Al-ulamaul uzzab alladziina aatsarul ilma ‘alaz zawaj. Tetapi, itu bukan untuk diikuti semua orang. Itu adalah perkecualian. Sebab, Rasulullah saw. pernah melarang seorang sahabatanya yang ingin hanya beribadah tanpa menikah, lalu menegaskan bahwa ia juga beribadah tetapi ia juga menikah. Di sini jelas sekali bagaimana Rasulullah saw. selalu menuntun kita agar berjalan dengan fitrah yang telah Allah bekalkan tanpa merasakan beban sedikit pun.

Memang masalah penghasilan hampir selalu menghantui setiap para jejaka muda maupun tua dalam memasuki wilayah pernikahan. Sebab yang terbayang bagi mereka ketika menikah adalah keharusan membangun rumah, memiliki kendaraan, mendidik anak, dan seterusnya di mana itu semua menuntut biaya yang tidak sedikit. Tetapi kenyataannya telah terbukti dalam sejarah hidup manusia sejak ratusan tahun yang lalu bahwa banyak dari mereka yang menikah sambil mencari nafkah. Artinya, tidak dengan memapankan diri secara ekonomi terlebih dahulu. Dan ternyata mereka bisa hidup dan beranak-pinak. Dengan demikian kemapanan ekonomi bukan persyaratan utama bagi sesorang untuk memasuki dunia pernikahan.

Mengapa? Sebab, ada pintu-pintu rezeki yang Allah sediakan setelah pernikahan. Artinya, untuk meraih jatah rezki tersebut pintu masuknya menikah dulu. Jika tidak, rezki itu tidak akan cair. Inilah pengertian ayat iyyakunu fuqara yughnihimullahu min fadhlihi wallahu waasi’un aliim, jika mereka miskin Allah akan mampukan mereka dengan kurnia-Nya. Dan Allah Maha luas lagi Maha mengetahui (An-Nur: 32). Ini adalah jaminan langsung dari Allah, agar masalah penghasilan tidak dikaitkan dengan pernikahan. Artinya, masalah rezki satu hal dan pernikahan hal yang lain lagi.

Abu Bakar Ash-Shidiq ketika menafsirkan ayat itu berkata, “Taatilah Allah dengan menikah. Allah akan memenuhi janjinya dengan memberimu kekayaan yang cukup.” Al-Qurthubi berkata, “Ini adalah janji Allah untuk memberikan kekayaan bagi mereka yang menikah untuk mencapai ridha Allah, dan menjaga diri dari kemaksiatan.” (lihat Tafsirul Quthubi, Al Jami’ liahkamil Qur’an juz 12 hal. 160, Darul Kutubil Ilmiah, Beirut).

Rasulullah saw. pernah mendorong seorang sahabatnya dengan berkata, “Menikahlah dengan penuh keyakinan kepada Allah dan harapan akan ridhaNya, Allah pasti akan membantu dan memberkahi.” (HR. Thabarni). Dalam hadits lain disebutkan: Tiga hal yang pasti Allah bantu, di antaranya: “Orang menikah untuk menjaga diri dari kemaksiatan.” (HR. Turmudzi dan Nasa’i)

Imam Thawus pernah berkata kepada Ibrahim bin Maysarah, “Menikahlah segera, atau saya akan mengulang perkataan Umar Bin Khattab kepada Abu Zawaid: Tidak ada yang menghalangimu dari pernikahaan kecuali kelemahanmu atau perbuatan maksiat.” (lihat Siyar A’lamun Nubala’ oleh Imam Adz Dzahaby). Ini semua secara makna menguatkan pengertian ayat di atas. Di mana Allah tidak akan pernah membiarkan hamba-Nya yang bertakwa kepada Allah dengan membangun pernikahan.

Persoalannya sekarangan, mengapa banyak orang berkeluarga yang hidup melarat? Kenyataan ini mungkin membuat banyak jejaka berpikir dua kali untuk menikah. Dalam masalah nasib kita tidak bisa mengeneralisir apa yang terjadi pada sebagian orang. Sebab, masing-masing ada garis nasibnya. Kalau itu pertanyaanya, kita juga bisa bertanya: mengapa Anda bertanya demikian? Bagaimana kalau Anda melihat fakta yang lain lagi bahwa banyak orang yang tadinya melarat dan ternyata setelah menikah hidupnya lebih makmur? Dari sini bahwa pernikahan bukan hambatan, dan kemapanan penghasilan bukan sebuah persyaratan utama.

Yang paling penting adalah kesiapan mental dan kesungguhan untuk memikul tanggung jawab tersebut secara maksimal. Saya yakin bahwa setiap perbuatan ada tanggung jawabnya. Berzina pun bukan berarti setelah itu selesai dan bebas tanggungjawab. Melainkan setelah itu ia harus memikul beban berat akibat kemaksiatan dan perzinaan. Kalau tidak harus mengasuh anak zina, ia harus menanggung dosa zina. Keduanya tanggung jawab yang kalau ditimbang-timbang, tidak kalah beratnya dengan tanggung jawab pernikahan.

Bahkan tanggung jawab menikah jauh lebih ringan, karena masing-masing dari suami istri saling melengkapi dan saling menopang. Ditambah lagi bahwa masing-masing ada jatah rezekinya yang Allah sediakan. Tidak jarang seorang suami yang bisa keluar dari kesulitan ekonomi karena jatah rezeki seorang istri. Bahkan ada sebuah rumah tangga yang jatah rezekinya ditopang oleh anaknya. Perhatikan bagaimana keberkahan pernikahan yang tidak hanya saling menopang dalam mentaati Allah, melainkan juga dalam sisi ekonomi.

Pernikahan dan Menuntut Ilmu

Seorang kawan pernah mengatakan, ia ingin mencari ilmu terlebih dahulu, baru setelah itu menikah. Anehnya, ia tidak habis-habis mencari ilmu. Hampir semua universitas ia cicipi. Usianya sudah begitu lanjut. Bila ditanya kapan menikah, ia menjawab: saya belum selesai mencari ilmu.

Ada sebuah pepatah diucapkan para ulama dalam hal mencari ilmu: lau anffaqta kullaha lan tashila illa ilaa ba’dhiha, seandainya kau infakkan semua usiamu –untuk mencari ilmu–, kau tidak akan mendapatkannya kecuali hanya sebagiannya. Dunia ilmu sangat luas. Seumur hidup kita tidak akan pernah mampu menelusuri semua ilmu. Sementara menikah adalah tuntutan fitrah. Karenanya, tidak ada aturan dalam Islam agar kita mencari ilmu dulu baru setelah itu menikah.

Banyak para ulama yang menikah juga mencari ilmu. Benar, hubungan mencari ilmu di sini sangat berkait erat dengan penghasilan. Tetapi banyak sarjana yang telah menyelesaikan program studinya bahkan ada yang sudah doktor atau profesor, tetapi masih juga pengangguran dan belum mendapatkan pekerjaan. Artinya, menyelesaikan periode studi juga bukan jaminan untuk mendapatkan penghasilan. Sementara pernikahan selalu mendesak tanpa semuanya itu. Di dalam Alquran maupun Sunnah, tidak ada tuntunan keharusan menunda pernikahan demi mencari ilmu atau mencari harta. Bahkan, banyak ayat dan hadits berupa panggilan untuk segera menikah, terlepas apakah kita sedang mencari ilmu atau belum mempunyai penghasilan.

Berbagai pengalaman membuktikan bahwa menikah tidak menghalangi seorang dalam mencari ilmu. Banyak sarjana yang berhasil dalam mencari ilmu sambil menikah. Begitu juga banyak yang gagal. Artinya, semua itu tergantung kemauan orangnya. Bila ia menikah dan tetap berkemauan tinggi untuk mencari ilmu, ia akan berhasil. Sebaliknya, jika setelah menikah kemauannya mencari ilmu melemah, ia gagal. Pada intinya, pernikahan adalah bagian dari kehidupan yang harus juga mendapatkan porsinya. Perjuangan seseorang akan lebih bermakna ketika ia berjuang juga menegakkan rumah tungga yang Islami.

Rasulullah saw. telah memberikan contoh yang sangat mengagumkan dalam masalah pernikahan. Beliau menikah dengan sembilan istri. Padahal beliau secara ekonmi bukan seorang raja atau konglomerat. Tetapi semua itu Rasulullah jalani dengan tenang dan tidak membuat tugas-tugas kerasulannya terbengkalai. Suatu indikasi bahwa pernikahan bukan hal yang harus dipermasalahkan, melainkan harus dipenuhi. Artinya, seorang yang cerdas sebenarnya tidak perlu didorong untuk menikah, sebab Allah telah menciptakan gelora fitrah yang luar biasa dalam dirinya. Dan itu tidak bisa dipungkiri. Masing-masing orang lebih tahu dari orang lain mengenai gelora ini. Dan ia sendiri yang menanggung perih dan kegelisahan gelora ini jika ia terus ditahan-tahan.

Untuk memenuhi tuntutan gelora itu, tidak mesti harus selesai study dulu. Itu bisa ia lakukan sambil berjalan. Kalaupun Anda ingin mengambil langkah seperti para ulama yang tidak menikah (uzzab) demi ilmu, silahkan saja. Tetapi apakah kualitas ilmu Anda benar-benar seperti para ulama itu? Jika tidak, Anda telah rugi dua kali: ilmu tidak maksimal, menikah juga tidak. Bila para ulama uzzab karena saking sibuknya dengan ilmu sampai tidak sempat menikah, apakah Anda telah mencapai kesibukan para ulama itu sehingga Anda tidak ada waktu untuk menikah? Dari sini jika benar-benar ingin ikut jejak ulama uzzab, yang diikuti jangan hanya tidak menikahnya, melainkan tingkat pencapaian ilmunya juga. Agar seimbang.

Kesimpulan

Sebenarnya pernikahan bukan masalah. Menikah adalah jenjang yang harus dilalui dalam kondisi apapun dan bagaimanapun. Ia adalah sunnatullah yang tidak mungkin diganti dengan cara apapun. Bila Rasulullah menganjurkan agar berpuasa, itu hanyalah solusi sementara, ketika kondisi memang benar-benar tidak memungkinkan. Tetapi dalam kondisi normal, sebenarnya tidak ada alasan yang bisa dijadikan pijakan untuk menunda pernikahan.

Agar pernikahan menjadi solusi alternatif, mari kita pindah dari pengertian “pernikahan sebagai beban” ke “pernikahan sebagai ibadah”. Seperti kita merasa senang menegakkan shalat saat tiba waktunya dan menjalankan puasa saat tiba Ramadhan, kita juga seharusnya merasa senang memasuki dunia pernikahan saat tiba waktunya dengan tanpa beban. Apapun kondisi ekonomi kita, bila keharusan menikah telah tiba “jalani saja dengan jiwa tawakkal kepada Allah”. Sudah terbukti, orang-orang bisa menikah sambil mencari nafkah. Allah tidak akan pernah membiarkan hambaNya yang berjuang di jalanNya untuk membangun rumah tangga sejati.

Perhatikan mereka yang suka berbuat maksiat atau berzina. Mereka begitu berani mengerjakan itu semua padahal perbuatan itu tidak hanya dibenci banyak manusia, melainkan lebih dari itu dibenci Allah. Bahkan Allah mengancam mereka dengan siksaan yang pedih. Melihat kenyataan ini, seharusnya kita lebih berani berlomba menegakkan pernikahan, untuk mengimbangi mereka. Terlebih Allah menjanjikan kekayaan suatu jaminan yang luar biasa bagi mereka yang bertakwa kepada-Nya dengan membangun pernikahan. Wallahu a’lam bishshawab.

Guru... itu teladan


Saat ini, pemilu 2009 telah berlangsung. Sebuah tanda akan berakhirnya suatu masa 5 tahun ke belakang perjuangan bangsa telah selesai, sekarang saatnya kita melihat dan mengevaluasi apa yang telah didapatkan selama 5 tahun ke belakang dan apa yang akan kita lihat ke depan...
Mungkin hal ini adalah gambaran sudut pandang orang-orang pemerintah dalam mengevaluasi bangsa ini, sekarang saya sebagai seorang pemuda biasa hanya ingin berpendapat mengenai peran guru yang sangat besar untuk perkembangan bangsa ini.

Guru bukanlah hanya seseorang yang menggunakan seragam dalam sebuah ruangan kelas, menggunakan kapur/ spidol dan menerangkan beberapa hal yang penting terkait ujian yang akan dihadapi oleh anak-anak yang ada di hadapannya. Akan tetapi lebih dari itu, guru adalah sosok yang menjadi pembimbing, pembina, pengarah, konsultan, pelatih, teman, orang tua, anak, serta teladan bagi siapapun orang yang ada lingkungan sekitar kita ini. Ya! guru adalah kita semua.... Baik itu ahli bahasa dia adalah seorang guru, tukang pulsa juga seorang guru, dokter dia juga seorang guru, teknisi pesawat dia juga seorang guru, bahkan semua profesi itu adalah seorang guru.( meskipun tidak disebut guru tapi bisa memiliki peran sebagai guru)

Adalah sebuah kepastian bahwa setiap orang dari kita merupakan cerminan dari orang lain. Ketika kita melakukan sesuatu hal yang baik, menginspirasi, maka orang lain yang melihat kita bisa mengambil suatu pelajaran dari yang kita lakukan. Begitu pula apabila kita melakukan sesuatu yang buruk dalam perangai, perilaku kita maka kita bisa menjadi teladan yang buruk di hadapan orang lain.

Dengan menyadari bahwa kita memiliki peran sebagai seorang guru, yaitu sebagai pengarah, pelatih, teladan bagi orang-orang lain di sekitar kita, maka alangkah bijaknya jika mulai saat ini kita bisa bersikap jauh lebih baik dari yang sudah kita lakukan. Jika kita yakin saat ini sudah melakukan lebih baik maka kita lakukan lebih baik lagi.

Salah satu faktor munculnya suatu peradaban adalah dengan kemajuan SDM yang ada pada suatu wilayah tersebut. Jika setiap orang sudah memiliki peran sebagai guru ini kepada orang lain di sekitarnya, maka akan timbul sebuah budaya untuk saling menasehati antara yang satu dengan yang lain. Ada sebuah kutipan dari seorang mantan presiden RI kita bapak B.J Habibie mengatakan "layaknya sepasang sayap pesawat terbang, maka sayap yang kanan adalah wawasan dan pemahaman agama yang baik, menyeluruh sedangkan sayap kirinya adalah ilmu pengetahuan kekinian. Maka ketika salah satu sayap tidak berfungsi! maka pesawat itu akan kehilangan keseimbangan dan jatuh!!" -kurang lebih redaksinya seperti itu, dalam save our nation-

Sebuah teladan, bisa mengubah perilaku ribuan bahkan jutaan orang. maka menurut saya meskipun ini terdengar aneh juga... Siapa saja yang menjadi teladan di hadapan siapapun -baik itu orang tua kepada anak, atau bahkan anak kepada orang tuanya- maka dia adalah guru bagi yang lainnya. ketika anda menjadi teladan maka anda telah menjadi guru kepada orang yang mengikuti jejak anda. Hanya saja sekarang permasalahannya apakah kita menjadi guru dalam hal kebaikan atau dalam hal keburukan?

Ingat ketika kita menanam bibit yang bagus maka hasil yang didapat adalah tanaman yang bagus pula, akan tetapi ketika kita menanam bibit yang rusak maka tanamannya juga bisa ikut rusak. Apa yang kita lakukan bisa menjadi berkah atau bumerang untuk kita.

Maka dari itu, ingatlah kawan bahwa anda, saya dan kita semua disini adalah seorang guru-mau tidak mau-, kita adalah guru untuk diri kita, guru untuk keluarga, guru untuk kelas kita, guru untuk teman sepekerjaan kita, guru untuk bos kita, guru untuk teman bisnis kita, guru untuk teman kuliah, bahkan kita adalah guru untuk orang tua kita. Apa yang kita lakukan, baik ataupun buruk kelakuan itu adalah sebuah teladan kepada orang-orang yang melihatnya.

Berhati-hati dalam hal ini bisa membuat kontribusi besar untuk kemajuan moral masyarakat di sekitar kita, dari masyarakat menjadi bangsa, dari bangsa menjadi dunia. Meskipun kecil insyaAllah ini berakibat besar suatu saat...

Saling menasehati dalam kebaikan dan kesabaran adalah contoh kecil dan luarbiasa dalam hal ini...

Oleh karena itu kepada para guru yang berada di segala sektor kehidupan ini.... Ayo kita bantu peradaban indonesia menjadi lebih baik lagi kedepannya.

Jadilah teladan, insyaAllah.....
Jangan lupa baca buku juga ditambah....
Bayangkan bagaimana jadinya jika murid lebih luas wawasannya daripada seorang guru yang mengajarnya?

semoga manfaat buat kita semua

Jumat, 03 April 2009

Senyum Kemenangan




sebuah senyum muncul, menghasilkan sebuah rasa optimis yang melingkungi diri bahwa keadaan memang berada dalam keadaan yang nyaman..itulah yang dirasakan oleh seseorang yang melakukan sebuah senyuman itu, baik dalam keadaan senang, gembira, sedih bahkan dalam tertimpa musibah sekalipun ketika kita mampu memberikan sebuah senyuman yang 'berat' itu maka kita sudah mengalami sebuah kemenangan dalam kehidupan ini.
'lho bagaimana kalau saya engga senyum dalam setiap keadaan?' mungkin kita seringkali ingin melakukan hal ini, akan tetapi kita memang disulitkan untuk menggerakkan sunggingan pipi itu. akan tetapi memang inilah yang menjadi perbedaannya orang yang mampu 'menang dalam setiap keadaan' dengan orang yang 'dalam keadaan tertentu dia menang'. orang yang mampu tetap tersenyum dalam kehidupannya sehari-hari maka dia layaknya matahari yang menyinari dengan cerah dan mencerahkan. sebanyak apapun awan mendung yang menghalangi langitnya, akan tetapi ketika matahari itu muncul maka cerahlah dunia ini...
lagipula alasan apa yang mengiyakan bahwa kita tidak patut untuk tersenyum? segala yang kita miliki sekarang ini sudah sangat-sangat cukup untuk membuat kita tersenyum dengan nikmat...coba sebutkan hal-hal yang bisa membuat kita muram durja jika kita mengingat nikmat-nikmat besar yang Allah berikan kepada kita, kita masih bisa bernapas, minum, makan, bahkan melakukan berbagai aktivitas termasuk melongok ke warnet seperti saat ini...
bayangkan jika hidup ini dihadapi dengan sikap yang penuh keluhan, dan putus asa..maka jangankan anda selesai membayangkan saya pribadi sudah males untuk mengetik hal itu, hehe...
senyuman itu datang dari sebuah keputusan sikap, keputusan sikap itu datang dari sebuah kebesaran jiwa, dan apakah senyum ini susah? insyaAllah tidak, karena saya tahu anda mungkin sudah mulai mencobanya ketika awal membaca tulisan ini bahkan sebelum membaca tulisan ini...
sebagai penutup...alangkah luarbiasanya orang yang dapat menutup permasalahan dirinya dari hadapan orang lain dengan senyuman kecil yang dia lakukan....

senyuman itu tanda orang yang menang...
dan bagi kita semua apa coba yang bisa mengalahkan kita untuk tidak tersenyum...?
tidak ada

senyumlah dan lihatlah kemenangan-kemenangan yang akan anda dapatkan....

-tapi ingat jangan berlebihan yaaa senyumnya-

sekali lagi semoga tulisan ini bisa menjadi pengingat buat saya pribadi khususnya dan kita semua

feb_muslim
di warnet marga asih

Rabu, 25 Maret 2009

Memilih untuk Bangkit !!


Bicara kebangkitan, maka kita bicara mengenai perubahan yang jelas dari keterpurukan menuju kegemilangan. Sebagaimana halnya seseorang yang 'bangkit' dari posisi tidur atau posisi lainnya menuju posisi yang lebih tinggi di atasnya, maka bangkit dapat kita katakan mirip-mirip dengan kata bangun.
Seorang yang bangkit harus melewati satu tahap yang menjadi dasar dari proses kebangkitan ini, tahap itu adalah tahap menyadari keterpurukan yang melanda di internal ataupun eksternal diri. Menyadari keterpurukan diri, jamaah, organisasi dalam keadaan di bawah,turun, hancur merupakan titik motivasi bangkit yang kuat yang dapat membakar segala upaya sehingga dapat berubah ke dalam keadaan yang lebih baik lagi. Akan tetapi realitanya jarang sekali sikap tulus, rendah hati dan qonaah yang dibutuhkan diri untuk melaksanakan hal ini ada dalam setiap tubuh individu yang ada. Melakukan hal ini-sadar akan kekurangan- sering dianggap sebagai kritikan pedas yang bahkan dapat melemahkan individu, jamaah itu sendiri. Padahal dari kritikan pedas,dalam, dan menyakitkan itu kelak akan muncul pemikiran-pemikiran kritis, kreativ yang dapat kita pertimbangkan untuk menjadi kerangka berpikir/paradigma awal untuk memulai kebangkitan kita.
Menyadari kekurangan internal-eksternal yang ada serta menyadari akan jauhnya jarak yang memisahkan antara keadaan kita sekarang dengan keadaan ideal yang kita mimpikan,akan membangunkan kita dari tidur yang melenakan ini.
Ingatlah hai kawan, penyakit paling berbahaya adalah penyakit yang tidak diketahui oleh pemiliknya padahal penyakit itu terus menggerogoti pemiliknya sedikit tapi pasti.
Ilustrasinya coba bayangkan apakah kita akan diam saja ketika kita sadar akan mengalami musibah sebentar lagi, atau dengan segera bangkit dan menghadapi musibah itu dengan penuh persiapan yang matang!

feb_muslim
-udah lama nih ga nulis,semoga bermanfaat-